Siang itu sangat berbeda. Lebih panas dari biasanya. Entah karena apa namun hatinya gelisah. Siang itu tepat setelah laki-laki Muslim menunaikan ibadah sholat jumat sebuah nomor yang sangat ia hapal muncul di inbox HP-nya. Rasanya seperti 100 tahun di gurun sahara, begitulah mungkin yang tepat menggambarkan suasana hatinya saat itu. Sebuah percakapan singkat mematikan yang sanggup membuatnya menitikkan air matanya yang sudah lama tak jatuh itu.
Berakhir.
Ya, satu kata yang cukup membuat mata bersimbah air mata. Butir-butir kesedihan jatuh dalam bentuk air mata yang mengalir deras membasahi pipinya yang merah.
Lagi-lagi perbedaan.
Perbedaan yang jadi bentengnya. Sekeras apapun ia telah mencoba melewatinya, ia tetap jatuh. Ternyata ia tidak cukup tinggi untuk melewati benteng itu. Jika memang perbedaan itu ada, kenapa harus ada cinta pula yang tumbuh disana? Dia tak mampu lagi mencerna apa yang terjadi. Untuk kesekian kalinya ia harus menghadapi kenyataan yang kecut, lebih kecut dari simalakama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar